Seorang pernah mengatakan: “Christmas means a different thing for a different person”. Natal memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda. Aku kira pernyataan tersebut tidak dapat disangkal. Aku bersyukur pernah beberapa saat berada di Singapura, yaitu sebuah negara yang sangat sekuler. Dalam kurun waktu sesaat, aku menyaksikan bagaimana negara tersebut sedemikian meriah dan indah pada bulan Desember. Sejak akhir bulan November, lagu-lagu Natal sudah terdengar, baik di hotel, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Suasananya memang sangat jauh berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Namun apa artinya semua itu? Menurut pengamatanku, Natal lebih bernuansa business daripada kerohanian.
Barangkali, untuk seorang anak kecil, Natal berarti hadiah, di mana pada saat Natal, dia selalu mendapatkan barang baru, seperti baju baru, sepatu baru. Tanpa semua itu, rasanya, Natal belum tiba. Hal seperti itu juga yang menjadi pengalaman penulis di masa kecil. Bagi aktivis Gereja, barangkali Natal berarti melakukan berbagai macam kesibukan, mulai dari menghias Gereja dengan berbagai dekorasi yang indah dan asesoris yang mahal, termasuk menghias pohon terang. Selain itu, ada juga kesibukan paduan suara, latihan drama, latihan menari atau berbagai jenis aktivitas lainnya. Memang, dalam kenyataannya, aktivitas anggota jemaat meningkat tajam selama Desember. Namun, pertanyaan kritis dapat diberikan. Apakah tanpa semua itu, Natal menjadi tidak sah? Apakah orang-orang yang sibuk, bahkan dapat disebut super sibuk selama Natal telah menjamin adanya Natal yang sejati? Dalam kenyataannya, tidak demikian. Ada cukup banyak orang yang setelah sibuk dengan berbagai kegiatan Natal, selain mengalami kelelahan, tidak mengalami apa-apa. Segera setelah Desember lewat dan memasuki Januari, segala kesibukan tersebut berakhir, simbol-simbol Natal, seperti pohon terang pun tidak lagi terlihat. Namun apa yang masih sisa?
Barangkali, jawabnya bisa sangat menyedihkan. Tidak ada yang tersisa. Hati kosong, tetap kosong dan bahkan semakin kosong. Orang-orang yang berbuat dosa, tetap berbuat dosa! Dalam kondisi demikian, Natal bukan saja menjadi tidak bermakna, tapi bahkan sesat makna. Natal Sesungguhnya dalam kondisi seperti di atas, Gereja dan umat harus terus-menerus waspada agar tidak terjerat kepada kegiatan dan rutinitas semata. Untuk itu, Gereja harus melepaskan diri dari berbagai pengaruh dunia yang negatif serta terus-menerus kembali kepada Alkitab. Dengan demikian, umat dapat memahami makna Natal yang sesungguhnya.
Alkitab dengan sangat jelas mewartakan adanya makna Natal yang bersifat objektif. Maksudnya, melalui kelahiran Yesus Kristus di hari Natal tersebut, sesuatu hal yang sangat penting dan mendasar terjadi kepada manusia berdosa. “Karena Allah sedemikian mengasihi isi dunia ini, sehingga Ia telah memberikan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:16). Itulah kabar baik yang sangat penting dan mendasar diwartakan di dalam Injil Yohanes. Dengan perkataan lain, manusia yang seharusnya binasa karena dosa, beroleh pengampunan dan keselamatan yang pasti. Sesungguhnya, keselamatan dan hidup kekal tersebut adalah suatu anugerah yang sangat berharga yang tidak mungkin dapat dibeli dengan uang atau dicapai dengan kemampuan manusia. Hidup kekal tersebut, juga tidak dapat diberikan oleh agama dan keyakinan apapun.
Namun, sangat disayangkan, sekalipun berita Alkitab tersebut sangat jelas, dalam kenyataannya, banyak orang yang setelah merayakan Natal tetap saja tidak memiliki keyakinan akan pengampuan dosa serta kehidupan yang kekal. Hal itulah yang pernah disaksikan oleh seorang nenek yang telah berusia lanjut. Ketika seorang pendeta bertanya ke mana jiwanya setelah meninggal, dengan ringan nenek tersebut menjawab: “Tidak tahu”. Kiranya hal seperti itu tidak terjadi kepada kita semua. Sebaliknya, kita menunjukkan bahwa sesungguhnya segala kesibukan tersebut di atas keluar sebagai ungkapan syukur karena telah mengalami karyaNya yang sangat ajaib tersebut. Tidak saja demikian, kehidupan seluruh umat yang telah mengalami keselamatan tersebut, harus terus-menerus diilhami oleh teladan Yesus Kristus yang sedemikian sempurna. Keteladanan Yesus tersebut sangat diperlukan dalam membangun masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami berbagai macam krisis kehidupan. Teladan seperti apa? Teladan Yesus yang hidup mengasihi, memang sangat diperlukan dalam dunia yang penuh kebencian dan persaingan. Teladan Yesus yang rela berkorban dan semangatNya memberi diri bagi kebaikan sesama, merupakan hal lain yang sangat penting dan mendesak untuk kita miliki, khususnya di dalam dunia yang semakin egois dan tidak perduli kepada sesama.
Kalau boleh menambahkan pada Khotbah malam Natal di gereja GPIB Karunia yang dipimpin oleh Pendeta Paul Waney semalam, beliau menegaskan makna penyelamatan Kristus bagi kita umat manusia yaitu ada 3 hal: Rescue, Restorasi, Rekonsiliasi - kita diselamatkan dari dosa-dosa kita, diri kita diperbaiki menjadi lebih baik oleh-Nya serta hubungan kita dengan Allah dan sesama dibaharui kembali.
Akhirnya, teladan kesederhanaanNya, juga sangat diperlukan dalam zaman yang sangat menonjolkan dan membanggakan kemewahan ini. Di tengah-tengah gaya hidup yang semakin wah dan gemerlapan, ada satu fakta dan realita yang penting untuk direnungkan: Tuhan dan Juruselamat dunia, lahir di dalam palungan. Seorang sahabat baikku - Agung - pernah memberikan sebuah pernyataan yang sangat mengesankan: “Satu-satunya Pribadi yang dapat memilih tempat kelahiranNya, memilih lahir di palungan”. Jika demikian, teladan siapa yang sedang kita ikuti?
No comments:
Post a Comment