Global Warming
Kehidupan mempunyai batas begitu juga organisme. Kini, batas sudah tidak ada lagi dengan rasa ketidakpuasan manusia yang tak mengenal batas-batas. Abad ini merupakan kemunduran peradaban manusia bukan kemajuan peradaban manusia. Banyak para ahli mengatakan bahwa sains adalah penyelamat manusia abad modern. Betapa hebatnya, ketika manusia menciptakan, mesin uap, kapal, kereta api, lampu gas, computer, fotografi, AC, lampu gas, pesawat dan berbagai produk yang mengagumkan semua orang di dunia termasuk penulis.
Dan ini merupakan peradaban kemajuan manusia. Di sinilah muncul bahwa manusia adalah mahluk sempurna, luar biasa. Marxisme juga menyatakan sains sebagai penyelamat kehidupan. Dan manusia, pada akhirnya menjadi penguasa segala bidang, baik dari social, ilmu pengetahuan, sampai-sampai menjajah bulan. Sadar tidak sadar pada saat bersamaan manusia menjadi tuan penguasa alam, penguasa dirinya sendiri-bebas. Mengutip Toffler bahwa “Tujuan akhir kemenangan sains subyeksi proses evolusi itu sendiri untuk manusia yang sadar”. Kekuasaan diatas kekuasaan kekuatan rasionalitas manusia tidak bisa dipungkiri lagi. Dan, kekuasaan dan kekuatan merupakan tujuan utama manusia tanpa harus memikirkan dampak dari kehidupan ekologis.
Namun, bukan pesimis sains sudah terbukti tidak lagi mengenal batas kemanusian dan ekosistim kehidupan. Ternyata sains di abad globalisasi ini berbeda dengan tujuan yang diharapkan. Ilmuwan tetap mengatakan dengan kredo humanistik bahwa pekerjaannya demi kebaikan manusia sebagai alat untuk menyelamatkannya. Terbukti, riset untuk sains memerlukan uang yang banyak. Dan, ironisnya ilmuwan tahu bahwa proyeknya harus dijual belikan. Dewasa ini sains sepenuhnya dikuasai oleh militer dan sistim ekonomi kapitalis global. Bisnis tetap bisnis, sains tidak bisa menghidupi dirinya sendiri dan akhirnya membunuh kehidupan ekologis. Mengutip Robert Musil, matematika, Ibu sains alam eksak, nenek ilmu mesin juga ibu jauh sains yang memiliki semangat darinya, pada akhirnya,melahirkan gas beracun dan pesawat tempur. Dan, tujuannya, penulis menyimpulkan bahwa sains adalah mesin pembunuh biosfer kehidupan manusia. Dari sainslah lahir sistim ekonomi global dan memicu pemanasan global yang membahayakan umat manusia dan kehidupannya.
Salah satu ilmuwan abad ini Fritjop Capra dalam penelitiannya bahwa ilmu pengetahuan telah terjebak dalam jalur yang salah dengan menempatkan ilmu fisika sebagai panutan. Menurutnya, dunia sains sudah waktunya mengganti kiblat dari ilmu fisika—ilmu benda-benda mati—menuju ilmu biologi—ilmu tentang benda-benda hidup. Karena secara hirarkis mahluk hidup memiliki kompleksitas lebih tinggi ketimbang benda-benda mati. Bahaya dari global warning penulis pernah menyampaikannya dalam tulisan yang berjudul Hancurnya Bumi:Ujung dari Global warning. Namun, bahaya kini sudah tidak dipedulikan manusia. Oleh, karena itu manusia merupakan pencipta sistim dan menciptakan bentuk-bentuk baru demi keuntungan ekonomi domain tanpa harus memikirkan bahaya. Pada akhirnya sistim pasarlah yang berbicara. Yang lemah bakal ditindas secara ekonomi.
Dalam teori Chaos bahwa pasar merupakan sistim yang hidup dan terus bergerak. Teori usang Adam Smith pun ditinggalkan dengan mengemukakan bahwa dipasarlah proses demokrasi sepenuhnya berjalan dan hak asasi terjunjung. Terbukti, mereka negara-negara besar (AS, Inggris, Australia, Israel) ribut perang ingin menguasai sumber daya alam di negara-negara lemah dan harus membunuh ribuan juta manusia. Indonesia satu-satunya negara yang taken for granted terhadap invansi mereka meski harus menjual sumber daya alam dan binatang langkanya termasuk manusianya yang berada diambang kemiskinan. Data World Bank tahun 2006 mengemukakan angka kemiskinan di Indonesia mencapai 37-39 juta jiwa dan jumlah pengangguran 10-12 juta jiwa diantara 100 juta angkatan kerja jiwa. Ekspoitasi alam terus berlanjut meskipun peraturan lingkungan hidup terbaru muncul dalam masyarakat Internasional, produk ramah lingkungan, dan banyaknya perjuangan organisasi pencinta lingkungan dunia, namun deforestasi hutan, kepunahan satwa liar dalam jutaan tahun tak pernah berhenti.
Pada Juli 2000, para Ilmuwan yang mencapai kutub Utara diatas kapal pemecah es Rusia Yamal berhadapan dengan suatu pemandangan yang aneh dan mengerikan suatu permukaan air terbuka luas, selebar satu mil, sebagai pengganti es tebal berabad-abad menutupi Samudra Artik (New York Times, (19/08), Tahun 2000). Terbukti, apakah bisa sains dan sistim ekonomi kapitalis globalisasi mempunyai solusi untuk mengatur iklim global terkendali lagi, membuat terumbu karang terbaru, membikin ozone buatan yang bisa melindungi kehidupan mendatang dari pemanasan global. Adanya bencana artificial manusia bukan murni alam merupakan bukti dari pemanasan global yang dibuat manusia abad ini. Para Ilmuwan yang bertanggungjawab atas riset mereka tidak hanya secara intelektual namun juga secara moral.
Sains juga menciptakan produk-produk baru seperti apa yang diungkapkan Jean Baudrillad bahwa di bagian lain dari Samudera Atlantik, kodok-kodok dan tikus tanpa kepala sedang dikloning di laboratorium-laboratorium pribadi, yang dilakukan sebagai persiapan untuk pengkloningan tubuh-tubuh manusia tanpa kepala yang nantinya akan dipergunakan sebagau sumber-sumber donasi organ tubuh. Belum lagi, akibat dari sains melahirkan spesies baru yakni terjadi pada kasus Henrietta Lacks, sel-sel tumor yang diambil sebagai sampel dari tubuhnya yang kemudian dikembangbiakan di sebuah laboratorium akan terus berlanjut berkembang biak tanpa batas. Bahkan, sel-sel tersebut membentuk spesemen luar biasa dan mematikan sehingga menyebar ke seluruh dunia dan bahkan bisa hidup di luar angkasa, yaitu di permukaan Satelit AS Discoverer 17. Secara tidak sadar, kita dibunuh oleh perbuatan kita sendiri sebagai manusia.
Manusia itu memang tidak pilih-pilih kasih; dia sendiri dengan senang hati akan bersedia menjadi kelinci percobaan seperti halnya makhluk-makhluk yang lain, baik yang hidup maupun yang mati. Manusia dengan penuh semangat bermain-main dengan masa depannya sendiri sebagai sebuah spesies persis sebagaimana dia bermain-main dengan masa depan dari semua makhluk yang lain. Dalam upaya pencariannya yang membuta untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih besar lagi, manusia telah memprogram kehancurannya sendiri dengan keganasan yang sama kejamnya dengan caranya menghancurkan segala hal yang lain. Anda hampir-hampir tak bisa menuduh manusia itu sebagai bersifat egosentris. Manusia mengorbankan dirinya seperti juga mengorbankan segenap spesies lainnya dalam sebuah takdir yang asing dan bersifat coba-coba.
Percobaannya yang mengeluarkan Budget (anggaran nasional) banyak menelurkan bencana – bencana efek pengaruh global warning. Lantas, ujungnya bisa saja jaman es abad lalu kembali lagi yang menghancurkan kehidupan dinosaurus. Bukan berarti penulis pesimis, dan ini bisa saja mungkin terjadi bahwa dunia peradaban modern berjalan mundur bukan maju seperti perhitungan peledakan bom menuju titik awal yakni 0 artinya, menuju kehancuran. Selain itu, Penyakit era globalisasi pun semakin kompleks, mulai dari penyakit jiwa ( Schizoprhenia), AIDS, SARS belum lagi kanker kulit akibat dari radiasi matahari tidak bisa disembuhkan oleh para ahli-ahli di bidangnya tersebut.
Global warning merupakan pintu akhir dari segala batas menuju kepunahan spesies manusia dan organisme lainnya. Oleh karena itu, meski dunia terlambat menanggapinya, bencana-bencana tidak bisa dicegah dengan alat secanggih apapun yang siap menghancurkan ekosistim kehidupan bumi. Meskipun, bakal ada revolusi secara radikal, namun penulis tanpa harus menjadi pesimis memprediksi bahwa ini adalah proses involusi manusia dan mahluk hidup lainnya, seperti ilmu gravitasi yang ditemukan Ensteins bahwa benda jatuh kebawah, namun dewasa ini benda kembali pada asalnya, bukan lagi jatuh ke bawah.
Pertemuan di Bali
Sebuah pertemuan akbar pun digelar di Bali beberapa waktu lalu. Di beberapa ruang yang sejuk di Pulau Dewata itu para pakar dan pejabat dunia berunding tentang cara mencegah agar dunia tidak kian gerah dan semakin kehilangan kehijauannya. Indonesia, yang menjadi tuan rumah acara Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, memang punya peran cukup penting dalam upaya menjaga kondisi dunia agar tak bertambah genting. Bagaimana tidak, bertambahnya kadar karbon di udara dituding sebagai penyebab utama naiknya suhu permukaan bumi, dan negeri ini diclaim berperan besar sebagai salah satu pemasoknya. Dengan predikat sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tercepat, Indonesia tak hanya dianggap bertanggung jawab atas menciutnya kapasitas paru-paru dunia, tapi juga dituduh membiarkan kegiatan pembakaran hutan sebagai cara mengubahnya menjadi lahan perkebunan. Di mata para pencinta lingkungan, ini adalah dosa ganda.
Tuduhan para aktivis yang kegiatannya amat didukung negara maju itu tak keliru, namun banyak pemimpin negara berkembang merasa kurang adil. Pasalnya, mayoritas penduduk di negeri tempat hutan tropis tumbuh masih miskin, dan segala upaya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka tentu didukung. Adapun salah satu cara yang terlihat di depan mata adalah memanfaatkan hutan dengan menjual kayunya atau mengubah lahannya menjadi tempat bertani dan berkebun. Perbedaan sudut pandang antara negara kaya dan miskin seperti ini yang dicoba dicari titik temunya di Bali. Di satu sisi secara per kapita penduduk negara maju jauh lebih boros ketimbang warga negara berkembang dalam memasok limbah penyebab perubahan iklim, tapi di sisi lain jumlah kaum papa jauh lebih banyak dari yang kaya. Ini berarti dibutuhkan perubahan paradigma yang cukup radikal dalam menyelaraskan upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan memelihara lingkungannya.
Salah satu gagasan baru yang sedang dibahas adalah ihwal pengelolaan hutan tropis. Sebelas negara yang memiliki kekayaan alam ini, termasuk Indonesia, kini menyatakan bersedia mempertahankan fungsi hutannya sebagai paru-paru dunia bila negara-negara lain membantu mereka dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat masing-masing. Konsep Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD) ini pada prinsipnya menyimpulkan bahwa beban menjaga kelestarian hutan tropis harus dipikul bersama oleh semua umat manusia dan tak hanya dipanggul oleh masyarakat tempat hutan ini berada. Konsep yang dilontarkan sejak 2005 ini pada prinsipnya telah diterima namun perincian pelaksanaannya yang belum tuntas. Bagaimana menghitung nilai ekonomi yang disumbangkan hutan tropis di setiap negara, berapa besar selayaknya dana masyarakat internasional yang harus ditagih, dan bagaimana menentukan besaran urunan tiap negara, adalah contoh butir kesepakatan yang harus dinegosiasikan.
Sebagai tuan rumah, Indonesia seharusnya menegakkan prinsip keadilan dan saling hormat sebagai dasar perundingan. Jangan sampai terkesan kesebelas negara berlaku bagai preman yang menyandera dunia tapi sekaligus tidak membiarkan mereka yang kaya disubsidi oleh yang miskin dalam kegiatan memelihara kenyamanan hidup di planet bumi. Prinsip keadilan yang bermartabat ini sebenarnya sudah diwariskan para pendiri bangsa kendati dalam konteks yang berbeda. Politik luar negeri bebas aktif Indonesia di masa lalu telah berperan besar dalam melahirkan gerakan nonblok yang membuat negeri ini dan banyak negara asing terbebas dari keharusan berpihak dalam konflik perang dingin masa lalu. Tatkala banyak negara lain merasa harus berlindung di payung nuklir blok Barat atau blok Timur, para anggota gerakan nonblok justru berkampanye membangun kawasan yang damai dan bebas dari ancaman senjata nuklir.
Kini, di Bali, pengalaman dan kepiawaian para diplomat anak bangsa dalam “mengayuh biduk di antara dua karang” perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kepemimpinan Indonesia dalam mengajak sepuluh negara pemilik hutan tropis lain untuk menyepakati usulan yang berprinsip keadilan dan kehormatan itu haruslah optimal. Juga kemampuan untuk mengajak anggota masyarakat internasional lain mendukung kesepakatan itu sebagai bagian dari upaya membuat dunia yang lebih baik wajib dimaksimalkan. Jika kedua hal ini dapat dicapai, masih ada tantangan lain yang tak kalah sulitnya. Itulah kemampuan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah diraih sesegera mungkin. Sebab, pengalaman masa lampau menunjukkan banyak konsep bagus ditelurkan namun tak dapat diterapkan di lapangan. Sebetulnya, tanpa kesepakatan pun, Indonesia harus tetap menjalankan kewajibannya dalam konsep REDD, yaitu menjaga fungsi hutan sebagai paru-paru umat manusia tanpa mengurangi upaya memerdekakan rakyat dari belenggu kepapaan. Tentu upaya mengajak negara-negara lain untuk turut memikul tugas kemanusiaan ini tak boleh terhenti. Salah satu cara efektif melakukannya adalah dengan menunjukkan keteladanan. Sukses membangun gerakan nonblok memang layak diulang. Kali ini, agaknya, dengan warna yang lebih hijau.
Langkah kecil kita
Jangan berfikir langkah kecil kita tidak berpengaruh apa-apa, sebab persoalan besar seperti Global Warming sebenarnya adalah dampak akumulatif dari perilaku individu yang kecil-kecil. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan:
1. Minimalisir penggunaan plastik;
Sebenarnya HMTL ITB akan mengadakan kampanye anti plastik, sebagai bentuk pewacanaan awal karena kita semua tahu mustahil dapat langsung berhenti dari pemakaian plastik (secara…hampir semua produk mengandung plastik, dan jika belanja pasti dikasih plastik!!)
MAKA (dengan asumsi semua disini tahu bahwa plastik non degradable)
* Hindarilah membuang plastik banyak-banyak, kalau perlu disimpan saja soalnya bisa membebani sampah kota.
* Kalau belanja, jika masih bisa langsung dimasukan kedalam tas, masukan saja jadi tidak perlu plastik lagi kan!
2. ” Switch off”Hemat listrik = mengurangi dampak pemanasan global:
* Matikan lampu sebelum tidur * Ganti lampu bohlam ke jenis lampu CFL (karena hemat energi sampai 60%)
* Jika meninggalkan kamar/rumah, cabut segala perangkat elektronik seperti: DVD player, televisi, s/d charger dsb…jika sudah selesai menggunakan) kebiasaan meninggalkan dalam keadaan stand-by harus dihilangkan.
3. Pilih Produk ramah lingkungan
* Seperti memilih kertas yang mudah didaur ulang
* Kalau bisa pakai kertas semaksimal mungkin (bisa pakai kertas re-use/ bolak-balik) kecuali kalau untuk hal-hal resmi.
4. Transportasi Hijau
* Kalau jarak dekat jalan kaki saja
* Jika menggunakan motor, rajin-rajinlah diservis!
* Jika menggunakan mobil, sebisa mungkin maksimalkan kapasitas penumpangnya & di servis juga! Karena apa? Aku merasa semua sudah tahu kalau pertambahan kendaraan bermotor di kota besar setiap harinya sangat tinggi, mau sampai berapa juta angka kendaraan bermotor membuat polusi semakin meningkat?
5. Tanam pohon bagi kita semua, jangan lupa dirumahnya harus ada lahan hijau, jangan dihabiskan semua untuk bangunan, bermanfaat juga untuk resapan air…INGAT YA…permukaan air tanah di bumi semakin meningkat dan membuat air tanah semakin dangkal…jadi berbaik hatilah pada tanaman.
Well, begitulah aku rasa hal-hal sederhana tadi dapat kita lakukan sekarang juga…meskipun terkesan sepele, namun berdampak sangat besar untuk kehidupan di bumi ini. Jika kita membiasakan diri dan menularkannya pada orang lain, kita semua berharap nanti semakin banyak orang yang akan menyadarinya. So, mulailah dari diri sendiri dan tularkan kebaikan ini kepada orang lain…
(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment