Tuesday, December 01, 2009

Cerita Natal: Natal Istimewa

Pada tahun 1944, ibu dan saya termasuk enam puluh wanita yang ditawan
Nazi di sebuah kandang kecil di Ludenburg, Jerman. Wanita yang lain
adalah orang Yahudi dan hanya kami berdua yang Kristen. Meskipun
begitu, karena hari Natal semakin dekat, ibu dan saya ingin mempersiapkan
sesuatu untuk merayakannya.

"Kita akan membuat sebuah pohon Natal," tiba-tiba ibu
berkata begitu pada hari Minggu Advent. Lalu ibu menguraikan rencananya, sebuah
rencana yang harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

Pada malam Natal, wanita-wanita yang lain mengamati dengan penuh
perhatian waktu kami membuat sejumlah hiasan yang aneh dan mulai
membuat sebuah pohon Natal. Mula-mula dikeluarkan sebatang kayu
panjang yang saya temukan di kandang dan saya sembunyikan di bawah
tempat tidur. Pada batang tersebut, kami mengikat ranting-ranting
kecil pohon cemara, yang diambil dari tumpukan kayu bakar. Dan
setelah susah payah memotong dan membentuk sebuah kaleng timah,
kami memiliki sebuah bintang, seperti bintang yang bersinar di Betlehem.

Untuk hiasannya kami memakai potongan kertas yang dibentuk melingkar
lalu dihiasi dengan benang rajutan bekas yang berwarna. Setelah
serangan udara berakhir, kami sering menemukan benang perak yang
panjang di tanah. Benang itu sekarang membalut tipis pohon kami.
Tetapi setelah semua itu diletakkan pada tempatnya di pohon, kami
merasa masih ada yang kurang.

"Lilin," kata ibu. "Seandainya kita mempunyai beberapa batang lilin."
Dan saya langsung tahu dimana saya dapat mengambilnya – dari tiga
lentera di kandang babi. Saya merayap kedalam "Vila Babi"
(kami menyebutnya begitu karena tempat dan makanan di situ lebih
baik dari yang kami peroleh) dan memotong sepotong kecil lilin dari
setiap lentera.

Sekarang pohon kami tampak hidup. Bayangan cahayanya menari-nari
di mata semua wanita yang berkerumun mengelilingi pohon itu. Ibu
mengeluarkan kitab Perjanjian Baru miliknya yang berharga dan membacakan
keras-keras Kabar Baik itu. Lalu dengan suara pelan, kami mulai
menyanyikan lagu-lagu Natal klasik, yang diakhiri dengan lagu "Stille
Nacht, Heilige Nacht" (Malam Kudus, Sunyi Senyap).

Tiba-tiba, pintu terayun terbuka dan Max Warger, sipir penjara
melangkah masuk.

"Apa ini?" tanyanya dengan kasar.
"Malam ini malam Natal," kata ibu dengan pelan. "Kami
merayakan malam
yang kudus."

"Kalian orang Yahudi?" tanyanya tidak percaya.

"Anak perempuan saya dan saya adalah orang Kristen."

"Tidak ada bedanya. Kalian berdarah Yahudi."

"Begitu juga orang Kristen yang mula-mula," jawab ibu dengan tegas.

"Kekristenan adalah masalah iman, bukan masalah bangsa."

Dengan penuh kemarahan, Wagner menarik pohon kami, memporak-porandakannya
dan melemparkan potongannya ke sudut ruang. Ia menghentakkan kakinya
mematikan cahaya lilin.

Dalam kegelapan, saya mengulurkan tangan saya menggenggam tangan
ibu yang meraba-raba dari bangku tidurnya di bawah. "Kita sudah
merayakan Natal," bisiknya.

Malam itu kami tahu pasti bahwa hari Natal itu abadi. Tidak peduli
bagaimana Natal itu dirayakan. Tetapi hari Natal yang istimewa itu
tidak akan terlupakan, karena pohon yang unik hasil imajinasi kami.

(from unitedFool.com)

No comments: